Sunday, November 15, 2015

Filled Under:

RIBA DALAM PANDANGAN ISLAM

Saat ini riba merupakan suatu kajian yang menjadi diskursus hangat dalam ilmu ekonomi Islam, karena riba merupakan permasalahan yang pelik dan sering terjadi pada masyarakat. Hal ini disebabkan perbuatan riba sangat erat kaitannya dengan transaksi-transaksi di bidang perekonomian (dalam Islam disebut kegiatan muamalah) yang sering dilakukan oleh manusia dalam aktivitasnya sehari-hari.

Pada dasarnya, transaksi riba dapat terjadi dari transaksi hutang piutang, namun bentuk dari sumber tersebut bisa berupa qard, buyu' dan lain sebagainya. Pelarangan riba merupakan salah satu pilar utama ekonomi Islam, di samping implementasi zakat dan pelarangan maisir, gharar dan hal-hal yang bathil. Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan (azziyadah), berkembang (an-numuw), membesar (al-‘uluw), meningkat (al-irtifa’). Dalam ungkapan Arab kuno “Arbaa fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan riba terhadap orang lain jika di dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu ma a'thaythum min syai'in lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu berikan dengan cara berlebih dari apa yang diberikan). Riba secara umum didefinisikan sebagai melebihkan kentungan (harta) dari
salah satu pihak terhadap pihak lain dalam interaksi jual beli atau pertukaran barang yang sejenis dengan
tanpa memberikan imbalan terhadap kelebihan tersebut (Al-Jaziri, 1972: 221).

Adapun tahap-tahap pelarangan riba dalam Al-Qur’an adalah:
Tahap pertama;
 disebutkan bahwa riba akan menjauhkan kekayaan dari keberkahan Allah, sedangkan shodaqoh akan
meningkatkan keberkahan berlipat ganda (QS. Ar-Rum: 39).
 Tahap kedua;
pada awal periode Madinah, praktik riba dikutuk dengan keras, sejalan dengan larangan pada kitab-kitab terdahulu. Riba dipersamakan dengan mereka yang mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar dan mengancam kedua belah pihak dengan
siksa Allah yang pedih (QS.An-Nisa’: 160-161).
Tahap ketiga,
pelarangan riba dengan dikaitkan pada suatu tambahan yang berlipat ganda (QS. Ali Imron: 130). Ayat ini
turun setelah perang Uhud yaitu tahun ke-3 Hijriyah. Menurut Antonio (2001: 49), istilah berlipat ganda
harus dipahami sebagai sifat bukan syarat sehingga pengertiannya adalah yang diharamkan bukan hanya yang berlipat ganda saja sementara yang sedikit, maka tidak haram, melainkan sifat riba yang berlaku umumpada waktu itu adalah berlipat ganda.
Tahap keempat;
merupakan tahap terakhir di mana Allah dengan tegas dan jelas mengharamkan riba, menegaskan perbedaan
yang jelas antara jual beli dan riba dan menuntut kaum Muslimin agar menghapuskan seluruh hutang-pihutang yang mengandung riba (QS. Al- Baqarah: 278-279).

Adapun macam-macam riba ada 2 yakni,
 pertama,riba akibat hutang-piutang disebut Riba Qard, yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid), dan Riba Jahiliyah, yaitu hutang yang dibayar dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
Kedua, riba akibat jualbeli disebut Riba Fadl, yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis barang ribawi, dan Riba Nasi'ah,
yaitu penangguhan atas penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang diperlukan dengan jenis barang
ribawi lainnya. Riba nasi'ah muncul dan terjadi karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara
yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering kita dengar di tengah-tengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan riba. Pendapat itu disebabkan rente dan riba merupakan "bunga" uang, karena
mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama bunga, maka hukumnya sama yaitu haram. Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank atas jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan dalih untuk usaha produktif, sehinggadengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi
maju dan lancar, dan keuntungan yang diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad kedua belah pihak baik kreditor (bank) maupun debitor (nasabah) sama-sama sepakat atas keuntungan yang akan diperoleh pihak bank. Timbullah pertanyaan, di manakah letak perbedaan antara riba dengan bunga?

Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan definisi dari bunga. Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan
dari kata interest yang berarti tanggungan pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan denganpersentase dari uang yang dipinjamkan. Jadi uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa riba "usury" dan bunga " interest" pada hakekatnya sama, keduanya samasama memiliki arti tambahan uang. Riba (usury) erat kaitannya dengan dunia perbankan konvensional, di mana dalam perbankan konvensional banyak ditemui transaksi-transaksi yang memakai konsep bunga, berbeda dengan perbankan yang berbasis syari'ah yang memakai prinsip bagi
hasil (mudharabah) yang belakangan ini lagi marak dengan diterbitkannya undangundang perbankan syari'ah di Indonesia nomor 7 tahun 1992. Islam mengharamkan riba selain telah tercantum secara tegas dalam al-
Qur'an surat al-Baqarah ayat 278-279 yang merupakan ayat terakhir tentang pengharaman. riba, juga mengandung unsure eksploitasi. Dalam surat al-Baqarah disebutkan tidak boleh menganiaya dan tidak (pula) dianiaya, maksudnya adalah tidak boleh melipat gandakan (ad'afan mudhaafan) uang yang telah dihutangkan, juga karena dalam kegiatannya cenderung merugikan orang lain.

baca juga HUMOR SEBAGAI METODE PEMBELAJARAN

0 comments:

Post a Comment

Copyright @ 2013 RABBANI.

Designed by | TechTabloids